Rabu, 15 Juli 2009

Budeg Membawa Petaka

"Bu, nasi campurnya satu ya. Nggak usah pake sambel, soalnya saya nggak suka pedes. Apalagi sekarang lagi sakit radang tenggorokan." ujar gue.
"Oh, baik, Mas." jawab si ibu kalem.
Si ibu kemudian berjalan ke belakang untuk menyiapkan pesanan gue. Nggak berapa lama, dia datang membawa sebuah piring berisi nasi campur.
"Ini, Mas, nasi campurnya. Udah saya banyakin sambelnya. Tumben Masnya minta sambel yang banyak. Padahal biasanya nggak pernah pedes gitu." uja si ibu kampret.
Gue lihat ke atas piring nasi campur pesenan gue. Isinya nasi, ayam goreng, mie goreng, tahu kare, dan sambel sebanyak berak bayi yang lagi diare. Kayaknya kuping si ibu lagi kesumpel truck tronton deh. Gue pesennya apa, dikasihnya apa. Sial.
Yang namanya budeg tuh emang bikin semua orang ribet. Susah mau berkomunikasi dengan baik kalo yang namanya kuping udah nggak ketulungan rusaknya. Udah beberapa kali gue ngalamin yang namanya ngobrol nggak nyambung sama orang budeg. Pernah juga dulu ada orang tua yang ngotot banget ngomong kalo Bambang Pamungkas itu adalah tukang ronda. Gila aja. Pemain bola top Indonesia itu malah dibilang tukang ronda. Salah siapa?? Sebenernya ya salah kuping si pak tua itu sendiri.
"Turun mana, Mas?" tanya seorang bapak tua yang duduk di sebelah gue. Saat itu bus jurusan Surabaya sedang melaju kencang menerobos jalanan.
"Turun di Surabaya, Pak." jawab gue ramah.
"Oh, Sidoarjo." ujar si bapak. Sotoy.
"Lho, kok Sidoarjo, Pak. Surabaya kok." Gue berusaha memperbaiki kesalahpahaman itu.
"Mas, kalo Sidoarjo itu baru aja lewat. Kok nggak turun dari tadi?!!! Wah, susah ini. Ini udah masuk tol nih. Gimana sih Masnya kok bisa lupa." si bapak geblek tampak sangat bersemangat nasehatin gue.
"B... bukan, Pak. Saya turun Surabayaaaa!!!" kata gue setengah teriak.
"Oh.... Surabaya toh. Kirain Sidoarjo tadi. Masnya sih ngomongnya kurang keras tadi."
Baguuuus. Sekarang gue yang disalahin. Padahal gue ngomong udah jelas banget. Biarin aja deh. Males mau berdebat sama orang tua. Entar gue dikirain anak muda yang nggak berbakti lagi.
"Seneng bola, Mas?" tanya bapak tua itu tiba-tiba.
"Oh, ya. Seneng, Pak." jawab gue dengan sedikit heran.
"Sepak bola jaman sekarang ini susah. Main seenaknya. Sedikit-sedikit berantem. Kayak anak kecil aja."
"Ah, iya, Pak." Gue cuman iya-iya aja. Masih nggak nyambung dengan maksud dan tujuan si bapak yang tiba-tiba ngomong bola.
"Apalagi itu tuh, siapa.....??? Siapa dah namanya??" ujar si bapak sambil garuk-garuk pala.
"Siapa, Pak??" tanya gue nggak ngeh.
"Itu tuh. Masak kamu nggak tau sih??!! Itu tuh....."
"Itu siapa, Pak??" Gue makin nggak ngeh. Gimana mau ngeh kalo tuh bapak ngomongnya nggak jelas banget. Mana ada pemain bola yang namanya ITU?? Nagaco aja.
Tiba-tiba, si bapak diam. Pandangannya lurus ke depan. Matanya nanar. Seperti orang yang sedang nahan berak.
"Bambang Pamungkas." katanya. Tiba-tiba.
"Hoh?? Bambang Pamungkas, Pak??"
"Iya. Bambang Pamungkas." ujarnya mantap.
"Bambang Pamungkas pemain bola itu? Emangnya kenapa, Pak??" tanya gue lagi.
"Oo..... ternyata Bambang Pamungkas itu TUKANG RONDA??" ujar si bapak nggak nyambung.
"Hah!! Kok tukang ronda, Pak?? Dia itu pemain bola." Gue berusaha meluruskan kegendhengan itu.
"Iya, iya. Saya tahu kok. Tukang ronda kan? Saya baru tau kalo dia itu juga tukang ronda. Ganteng-ganteng kok tukang ronda." si bapak makin nggak nyambung.
"Yah, Pak. Kok tukang ronda sih??!! Siapa yang bilang dia tukang ronda??!!" ujar gue sedikit bersungut. Gue nggak rela pemain favorit gue dilecehkan seperti itu.
"Lha, kamu sendiri kok tadi yang bilang." ucap si bapak nggak kalah bersungut.
"Siapa, Pak? Siapa yang bilang??!!!"
"Kamu gitu kok tadi." ujar si bapak keukeh. Gila. Jauh banget dari pemain bola jadi tukang ronda. Dasar kupingnya aja yang lagi jamuran. Sampe budeg kayak gitu.
"Nggak. Saya nggak bilang gitu kok. Saya bilangnya tadi pemain bola." Gue mencoba membela diri.
"Iya, iya. Saya udah denger. Dia juga tukang ronda kan?!! Nggak usah diulang-ulang terus." si bapak budeg gantian membela diri.
Belum sempat gue mengakhiri perdebatan itu, tiba-tiba kernet berteriak bahwa bus telah memasuki terminal Bungurasih. Itu artinya udah sampe di Surabaya. Udah waktunya gue turun. Mau nggak mau, terputuslah perdebatan itu tanpa ada pembenaran. Dan gue harus merelakan pemain favorit gue dicap sebagai...... TUKANG RONDA. Bagus sekali. Wahai Bambang Pamungkas...... jadilah warga teladan. Aktiflah di pos kamling. Jagalah ketertiban dan keamanan masyarakat. Ikutilah kegiatan ronda secara berkala. Lebih bagus lagi kalo kamu berhenti jadi pemain bola dan segera mendaftar sebagai HANSIP. Niscaya Tuhan akan selalu menjagamu. Amin.